Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pejuang Ekonomi Di Egdmc


Saya tidak pernah tahu nama mereka sebab tidak pernah bertanya. Niat untuk bertanya niscaya ada, tapi ketika transaksi membeli sebutir telur rebus atau sekumpul kacang rebus atau segelas kopi, misalnya, pertanyaan itu hilang dari kepala. Tapi itu tidak lantas menciptakan kami tidak dekat bertegur sapa dan bercanda. Saya bahkan sering ngetem di dekat mereka ketika jeda empat puluh lima menit pertandingan pertama untuk sekadar mengaso, mengobrol, dan basuh mata. Di Ende, keakraban terjalin hanya dengan sapaan kecil ibarat 'Mama' atau 'Bibi' atau 'Baba' atau 'Paman' diiringi anggukan kecil dan senyum tipis. Setelah ini aku berjanji akan menanyakan nama mereka.

Siapakah mereka?

Mereka ialah pejuang ekonomi keluarga.

Baca Juga : Blogfam Homecoming

Sebut saja namanya Vanilla. Seorang wanita yang dari perawakannya aku taksir berusia limapuluhan. Gayanya nyentrik dengan rambut pendek. Kulitnya yang cokelat renta serta jari tangannya yang berangasan menunjukan betapa kerasnya beliau bekerja. Setiap hari sekitar pukul 15.00 Wita Vanilla sudah menunggu suaminya mendorong gerobak berisi kardus-kardus menuju depan sayap kanan Stadion Marilonga. Di situ sudah menunggu sebuah meja panjang, siap mendapatkan beban barang dagangan. Sang suami yang kami goda dengan julukan 'Ketua Panitia' beberapa kali bolak-balik mendorong gerobak dari rumah mereka yang berhadapan dengan stadion ke lokasi jualan. Setelah kardus-kardus, giliran termos air panas dan gelas, lantas tras kresek berisi barang lainnya.

"Siap ditata barangnya!" goda saya.

"Itu sudah ..." jawab Vanilla sambil tertawa.


Dari bibirnya lantas mengalir dongeng bahwa sehari-hari beliau bekerja sebagai tukang masak di sebuah warung tak jauh dari Stadion Marilonga. Apabila ada aktivitas kompetisi sepakbola di stadion tersebut, Vanilla menerima ijin bos alias si pemilik warung untuk pulang lebih cepat dengan syarat semua pekerjaan di warung telah kelar. Vanilla berkata bahwa bos-nya itu sangat baik padanya. Waktu aku tanya kenapa beliau tidak menjual nasi bungkus atau nasi kucing di Stadion Marilonga, katanya tenaganya sudah terkuras, tidak tersisa lagi.

Baca Juga : Studio JP Photography

"Saya ni bangkit jam dua pagi pribadi urus rumah. Sudah beres di rumah, jam tiga aku pergi ke warung. Masak semua menu, bantu-bantu sedikit, hingga jam sepuluh. Habis itu aku pamit mau jualan di sini. Pulang rumah, siap barang-barang, masak lagi untuk makan mereka di rumah. Tidak ada kesempatan tidur lagi soalnya sore sudah ke sini (lokasi jualan). Pernah malam-malam jam sepuluh pas pulang ke rumah, sementara hitung uang, aku tidur pribadi di atas dos (kardus) uang. Aduh, mengantuk sekali!"

Vanilla bercerita sambil tangannya terus bekerja menata botol-botol dan gelas-gelas minuman pabrik, cemilan ini itu, telur rebus, dan lain sebagainya.

Di samping Vanilla ada lagi pejuang ekonomi lainnya; sekeluarga bapak, mama, dan anak-anak. Sebut saja Cokelat. Setiap sore Cokelat membonceng anaknya bersama tumpukan kardus barang dagangan. Anak-anak itu tampak begitu besar hati sanggup membantu orangtua; satunya wanita berjilbab, satunya laki-laki. Padahal, di daerah lain, anak seusia mereka (usia sekolah dasar) mungkin sedang murka sama orangtua sebab di meja makan hanya tersaji sayur dan tempe goreng; atau bahkan sedang sibuk bermain-main dengan telepon genggam. Hidup memang keras, bagi sebagian orang, dan itu sudah dihadapi ketika usia masih sangat dini.


Selain Vanilla dan Cokelat, masih banyak pejuang ekonomi lainnya, dua diantaranya menentukan untuk buka lapak sempurna di seberang-depan loket penjualan tiket. Dua orang Mama ini beda usia. Sebut saja Stroberi yang usianya sekitar empatpuluhan tahun. Dan sebut saja Alpukat yang usianya aku taksir sekitar enampuluh sembilan. Dagangan Stroberi mirip-mirip Vanilla dan Cokelat. Sedangkan dagangan Alpukat hanyalah kopi panas dan brondong yang dikemas dalam plastik. Adalah usaha yang sangat luar biasa sebab Stroberi dan Alpukat tidak tinggal di sekitar Stadion Marilonga.

"Tinggal di mana, Mama?" tanya aku ketika memesan kopi.

"Saraboro," jawab Stroberi.
Alpukat tidak ikut menjawab. Tangannya yang renta gemetar menakar gula dan kopi ke dalam gelas, lantas menuangkan air panas dari termos. Saya ulangi: tangannya yang renta dan gemetar!

Wadefak!


Kenapa pemandangan ini harus aku lihat? Kenapa pula aku harus duduk di dekat mereka, tidak di dekat Vanilla saja? Masih lebih baik melihat Vanilla yang kadang meletakkan kepala di atas meja dan tidur di situ atau melihat anak-anaknya Cokelat berlarian di parkiran kolam sedang main di taman bermain, ketimbang melihat tangan renta dan gemetar itu menakar gula dan kopi! Pikiran aku pribadi tertuju ke Mamatua. Sudahlah, aku tidak perlu menulis panjang lebar wacana Alpukat dan bagaimana perjuangannya mengais rejeki. Saya tidak sanggup.

Di samping Stadion Marilonga terletak Polsek Wolowona serta Brimob. Di Lapangan Brimob sendiri sedang berlangsung pasar malam. Ketua Panitia berkata bahwa sehabis berjualan di Stadion Marilonga, malamnya beliau bakal meninggalkan Vanilla sendirian sebab beliau sendiri juga bakal membuka lapak di lokasi pasar malam.


Vanilla, Ketua Panitia, Cokelat sekeluarga, Stroberi, Alpukat, dan semua pejuang ekonomi di Stadion Marilonga, ialah orang-orang yang patut aku contohi. Kegigihan Vanilla, misalnya, membagi waktu demi sanggup menyekolahkan anak, atau Alpukat yang sudah serenta itu harus berjualan di lokasi yang sangat jauh dari rumah. Nah saya? Masih sempat bermain game! Artinya aku masih punya waktu produktif, sebenarnya, untuk melaksanakan hal lain yang jauh lebih bermanfaat.

***


Ema Gadi Djou Memorial Cup atau disingkat EGDMC, ajang kompetisi sepakbola bergengsi yang digelar oleh Yayasan Perguruan Tinggi Flores (Yapertif), yang sebelumnya berjulukan Yapertif Cup, sudah dua ahad berlangsung. Kompetisi yang mempertemukan enambelas klub sepakbola se-NTT ini diselenggarakan di Stadion Marilonga dengan program pembuka dihadiri oleh Bupati Ende Marsel Petu, Wakil Bupati Ende Djafar Ahmad, Ketua DPRD NTT Anwar Pua Geno, dan tentu saja Ketua Yapertif Lori Gadi Djou. Sebagai anggota panitia Seksi Publikasi dan Dokumentasi, aku harus sudah datang di Stadion Marilonga pukul 15.00 Wita. Oleh sebab itu semua anggota panitia diijinkan untuk pulang kerja pukul 12.00 Wita biar sanggup beristirahat sejenak sebelum bertugas.

EGDMC menjadi salah satu kesempatan para pejuang ekonomi menambahkan sedikit lebih banyak Rupiah ke dalam kantong.

God bless you all.

NggaE berka.
 


Tulisan yang sama juga sanggup dibaca di sini.



Cheers.