Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Republik Lan Fang Di Indonesia

Sejarah Republik Lan Fang di IndonesiaKisahnya bermula di kala 18. Lan Fang berawal dari sebuah kongsi tambang orang Tionghoa dari etnis Hakka. Letaknya di Pontianak, Kalimantan Barat.

Penduduk Lan Fang ketika itu semacam "negara di dalam negara". Republik Lan Fang berdiri pada tahun 1777, mereka masih membayar upeti tanda tunduk kepada Kesultanan Sambas dan Mempawah di Kalbar, tapi sehari-hari mereka sangat otonom. 


Karena tata pemerintahannya sangat demokratis dibandingkan kongsi-kongsi lain yang umumnya bergaya feodal, secara tak eksklusif Lan Fang pun menerima julukan "republik." Diberi tanda kutip alasannya ialah secara de facto, tidak ada ratifikasi internasional kepada republik ini.

Meski, kenyataannya, syarat untuk terbentuknya sebuah republik telah terpenuhi. Tak cuma punya rakyat dan wilayah, Lan Fang rutin menghelat pemilu untuk menentukan "presiden." Lan Fang juga mempunyai sistem perekonomian, perbankan, dan Hukum sendiri. Republik ini bisa bertahan hidup selama 107 tahun.

Bendera Republik Lan Fang berbentuk empat persegi panjang berwarna kuning dengan lambang dan kalimat “Lan Fang Ta Tong Chi”. Panji kepresidenan berbentuk segi tiga berwarna kuning dengan kata “Chuao” ( Jenderal ). Pejabat tingginya berpakaian ala Tiongkok kuno, sedangkan yang berpangkat lebih rendah mengenakan pakaian ala barat.

Lo Fang Pak, seorang guru dari Kwangtung - Cina merupakan pendiri sekaligus Presiden pertama Republik Lan Fang yang berjasa menyatukan puluhan ribu orang Tionghoa yang ketika itu berburu emas hingga ke Kalimantan Barat.
Presiden pertama Lan Fang Lo Fang Pak

Hebatnya, Republik Lan Fang kala itu sudah membangun jaringan transportasi, punya kitab undang - undang hukum, menyelenggarakan sistem perpajakan, menyebarkan sistem pendidikan, pertanian dan pertambangan, bahkan punya ketahanan ekonomi berdikari, lengkap dengan perbankannya.

Republik Lan Fang juga sangat disegani alasannya ialah kemampuannya mengusir buaya di muara Kapuas. Bahkan sehabis sukses membantu Sultan Kun Tien dalam perang melawan Kesultanan Mempawah dan kelompok Dayak, seluruh orang Tionghoa menentukan berlindung pada Republik Lan Fang, termasuk Sultan Kun Tien sendiri.

Berbagai rujukan juga menyebut jikalau Lan Fang mempunyai hubungan perdagangan yang disebut dengan segitiga emas. Yakni, menghubungkan antara Lan Fang, Tiongkok, dan negara di Semenanjung Malaysia, hingga Vietnam.

"Lemahnya kesultanan yang hanya tertarik dengan upeti menciptakan Lan Fang bebas bertransaksi dengan yang lain," tutur budayawan Xaverius Fuad Asali.

Setelah 47 tahun berdiri dan tercatat punya 10 Presiden yang dipilih lewat Pemilu, balasannya Republik Lan Fang takluk di tangan penjajah Belanda.

Alkisah, pada 1884, Singkawang, Kalbar, wilayah dimana Lan Fang berada, menolak untuk dikuasai Belanda. Akibatnya, wilayah yang ketika ini dijuluki Kota Seribu Kelenteng itu diserang. Warga setempat pun kocar-kacir sehabis sempat bertahan selama empat atau lima tahun bertempur. Mereka melarikan diri ke Sumatera lantas ke Medan.
Beberapa lalu melanjutkan pelarian hingga ke Singapura dan melanjutkan pembangunan. Dan, tentu beranak pinak. Salah satu keturunannya ialah mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew.

Susahnya Restorasi
Seperti dilansir JPNN, sekarang sedang diupayakan merestorasi kembali keberadaan Republik Lan Fang. Salah satunya, ialah situs lanfangchronicles.wordpress.co m yang tiga tahun ini sudah menciptakan festival wacana Lan Fang di Singapura. Berbagai peninggalan Lan Fang telah pula direstorasi.

Mulai dari miniatur bentuk uang, menara perlindungan, lukisan-lukisan dan foto zaman dahulu, hingga menciptakan pagelaran puisi wacana perang kongsi. Pagelaran tersebut bahkan masuk menjadi aktivitas rutin Singapore Art Fest. Ironis memang, semua itu dilakukan oleh warga Singapura, bukan Indonesia sebagai pemilik sejarah.


Sayang, banyak arsip Republik Lan Fang yang dulu hilang. Menurut Soedarto - sejarawan Kalbar, arsip-arsip wacana Lan Fang sudah tidak ada lagi di tanah air. Termasuk juga arsip-arsip sejarah lainnya.

"Semuanya ada di luar, dibawa Raffles ke Inggris," katanya. Ia juga menyebutkan jikalau arsip negara yang dibawa menuju Inggris mencapai 30 ton. Kalau pun masih berada di museum Royal London, penelusuran itu sangat sulit dilakukan.

Hilangnya arsip dari tanah air bukan hanya terjadi ketika era penjajahan saja. Pasca kemerdekaan juga ada, prasasti dan arsip tersebut dijual dengan satu alasan: ekonomi. Soedarto menyebut barang berharga itu rela ditukar dengan rupiah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.