Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pergi Kemana Impian Mulia Yang Setinggi Langit Itu?

Blog ini memang sebagian besar isinya curhatan saya semua Pergi Kemana Cita-Cita Mulia yang Setinggi Langit Itu?Blog ini memang sebagian besar isinya curhatan saya semua. Kaprikornus yah isinya perihal saya saya, dan saya melulu. Tapi, saya hanya beberapa kali menuliskan cerita hidup di blog ini. Walah, cerita hidup. Sedap betul kata-kata ini.

Seperti mematok palu untuk nasib sendiri "thur, inilah hidupmu, 3 tahun kedepan. Kaprikornus karyawan". Yah, karyawan di ibukota, yang (katanya) hidupnya ibarat mesin, pergi pagi, pulang petang, kerja untuk orang.

Oh bukan, bukan. Bukan bermaksud mengingkar nikmat, saya paham betul bahwa banyak saudara disana yang sulitnya bukan main demi untuk memperoleh pekerjaan.

Blog ini memang sebagian besar isinya curhatan saya semua Pergi Kemana Cita-Cita Mulia yang Setinggi Langit Itu?

Dulu, cita-citaku setinggi langit

Belasan tahun lalu, saya masih duduk di dingklik sekolah dasar. Sangat erat dengan pertanyaan "kalau besar nanti, kelak mau jadi apa?" Polisi! Tentara! Pilot! Superman! Semua kujawab dengan lantang. Guru, ayah, emak, tak ada satupun yang berani menyela. 

Hingga impian itu rontok satu persatu. Prestasi juara bertahun-tahun di sekolah dasar tidak lagi membanggakan, iya. Saya selalu juara kelas, ketika di sekolah dasar, yang sekolahnya di kabupaten, yang muridnya tidak lebih dari 20sekian orang.

— yang ketika lulus SD, teman-teman sudah kemudian lalang di depan rumah sambil menggendong anaknya. 

Kemudian impian itu menjadi setinggi bukit

Jangan tanya saya berapa jarak dari langit ke bukit. Nilai matematika fisika geografi kimia saya sungguh memilukan. Bersaing di sekolah negeri (kota) menciptakan saya sadar ternyata saya tidak cocok duduk di dingklik akademik.

Orang-orang ibarat ini yang cuma sanggup meratap nasib melihat teman-teman sekelasnya sibuk menentukan universitas yang mereka idamkan. Saya sendiri? Tidak ada pilihan, kuliah di Perguruan Tinggi Negeri hanya angan-angan.

Kami-kami inilah yang biasanya rajin lari sore di masa-masa menjelang UN. Olahraga sedemikian gila, push up, sit up, renang, hingga segala hal menjaga kolestrol. Bermodalkan fisik yang atletis, saya percaya sanggup menjadi perwira muda ketika itu, tahun 2012.

— ternyata gagal. Disini saya paham betapa busuknya negara ini.

Ah, yang penting dapet kerja

Semangat itu masih berapi-api, saya bertekad untuk hidup merantau ke pulau jawa. Berada di kelas unggulan ketika Sekolah Menengan Atas menciptakan saya begitu terpacu. Akan saya buktikan disini. Kalau saya juga sanggup bersaing di kelas. Kalau saya juga sanggup mendapat nilai yang tinggi.

Tapi semua itu hanya berkisar 3 bulan awal menjadi mahasiswa. Menghadiri kelas kuliah cuma jadi beban, 3 tahun lamanya. Hingga wisuda dan mendapat pekerjaan bermodalkan apa yang saya pelajari sendiri, bukan dari slide perkuliahan. Bahkan ijazah ini tidak saya lampirkan di surat lamaran.

— hidup tak segampang omongan motivator MLM. Saya pun memulai hidup menjadi karyawan.

Lah, pergi kemana impian mulia saya 3 tahun lalu? 

Bukan saya menyampaikan bahwa kuliah itu percuma. Saya beruntung sanggup mengenyam pendidikan disini, hidup merantau di ibukota menciptakan saya paham bahwa ternyata cita cita itu bukan polisi dan tentara saja, bukan hanya pilot dan dokter saja.

Tapi kuliah tidak punya tanggapan atas pertanyaan saya. Untuk apa saya harus memahami semua mata kuliah yang membosankan itu? Kuliah tidak memperlihatkan apa yang saya cari. 

— ini menjadi tanggapan ketika emak menanyakan "kenapa kamu tinggalkan kegiatan ekstensimu yang biaya daftarnya 12 juta itu?"

Ternyata, yang kemarin itu hanya angan-angan

Cita-cita itu bukan lenyap dan sirna, justru sebetulnya ada dan yang dulu itu hanya angan-angan belaka. Karena impian saya tidak hanya sebaris kalimat atau bahkan cuma sebuah kata; pilot, dokter, tentara, apalah.

Saya mendambakan hidup di desa, yang bebas dari kemacetan, bekerja dari rumah. Sembari ditemani istri dan melihat bawah umur bermain di halaman. Mengelola tubuh training bersama orang-orang yang saya sayangi, dan seterusnya, dan seterusnya. *mari tepuk tangan

Rencana yang terlupakan

Dulu menargetkan cukuplah 1-2 tahun menjadi karyawan. Lalu pulang ke kampung halaman memulai bisnis kecil-kecilan. Ada aneka macam hal yang sanggup dikerjakan di kampung sana. Tapi, tapi tapii..... hidup memang tak seindah perkataan mario teguh.

Terlihat terang kegagalan itu. 2 tahun saya begitu terlena di zona nyaman. Hingga sesuatu mengingatkan saya akan planning yang dulu pernah dibuat. Ah, saya harus keluar dari daerah ini.

Saya ini anak yang hampir selalu punya keputusan matang, tidak sanggup diganggu gugat, oleh siapapun. Namun ketika itu, ibarat saya tidak punya tanggapan atas pertanyaan keluarga di rumah, "cemana kamu disana? udah sanggup lah pulang ke kampung, kerja disini aja".

3 tahun kedepan, saya masih jadi karyawan

Batin ini ibarat terpelatuk, saya ini ibarat tidak ada peningkatan skill. Seperti merasa belum cukup bekal untuk pulang, saya belum punya kesiapan untuk memulai rencana-rencana itu. Rasanya ingin menghakimi diri sendiri "ah ngapain saja 2 tahun lamanya!!"

Nampak betul diri ini begitu naif mendambakan kehidupan ini itu di masa depan, sedang masa muda masih sering saya habiskan untuk berleha-leha dan bersantai-santai.

Tidak ada pilihan lagi selain melanjut hidup, menjadi karyawan. Sayangnya tipikal daerah kerja yang saya inginkan dan butuhkan ketika ini mempunyai kebijakan khusus, keterikatan perjanjian kerja, yang tidak sebentar. Saya tidak ingin renta disini.
“Alangkah mengerikannya menjadi renta dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan tiba terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan ibarat mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”
(Menjadi Tua di Jakarta- Seno Gumira Ajidarma)
— Tak terasa usia ini terus bertambah, dan harus segera menikah, sedang saya ini akan tetap menjadi karyawan, hingga 3 tahun kedepan.

Sumber https://www.fathurhoho.id/