Triplet Part 23
Triplet ialah goresan pena lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku alasannya ceritanya tidak mengecewakan absurd. Saya tetapkan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART 23
***
PART 23
Ende
15 Agustus 2015
“You don’t choose your family. They are God’s gift to you, as you are to them.” – Desmond Tutu.
Orangtua selalu mendo’akan kehidupan paling baik untuk belum dewasa mereka. Masa depan yang baik: menikah, memiliki anak, bisa membentuk kehidupan berkeluarga yang sesuai standar keluarga idaman Indonesia. Punya dua anak, cukup. Belum bisa beli mobil, harus lebih keras berusaha supaya tidak kalah dengan tetangga. Meskipun Islam mengajarkan tanggungjawab orangtua berbatas pada dikala anak memasuki ranah rumah tangga namun tidak sanggup dipungkiri kenyataan yang terjadi orangtua selalu ada untuk anak. Dan jangan heran kalau masih ditemui orangtua yang lebih senang melihat anak dan cucu tinggal serumah bersama mereka dalam kemewahan ketimbang hidup mandiri-namun-pas-pasan.
Ketika anak-anaknya lahir Him meng-adzan-kan mereka. Bersama lantunan adzan beliau mendaraskan do’a-do’a kelak anak-anaknya bisa menghadapi sepahit apapun perjalanan hidup. Bukan sembarang nama pun diberikan kepada anak pertamanya. Shamira. Si pekerja keras yang akan menjadi tauladan bagi adik-adiknya. Rupanya nama tersebut terlalu berat disandang. Harapannya akan Mira telah kandas bahkan sebelum ujian kelulusan SMU. Sharastha dan Shadiba, dua nama yang serabutan Him comot dan tanpa arti, justru membuatnya besar hati dengan caranya masing-masing. Yang satu dengan kemampuan luar biasa santunan Tuhan, yang satu membuka lapangan kerja untuk banyak orang. Dan inti dari itu semua, Atha dan Diba bisa memberi manfaat tidak hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk orang lain.
Duduk di dingklik plastik di akrab sampan mungil milik Rulah, Him memikirkan Mira dan permintaan-permintaannya. Minggu-minggu terakhir ini Mira lebih sering menemuinya di beranda belakang atau di meja makan. Topiknya hanya satu: tigabelas bahtera motor. Jawaban Him pun tetap sama; boleh saja Mira mengelolanya atas nama keluarga, kalau menginginkannya atas nama Mira seorang maka beliau harus berakal bernegosiasi dengan tiga anak yang lain. Di satu sisi Him iba melihat Mira yang begitu itu; menikah alasannya hamil duluan, pria yang menikahinya bukan pria yang menghamilinya, hidup tanpa perencanaan, tidak berpendidikan tinggi (setidaknya sarjana) menyerupai adik-adiknya, dan kini malah jadi pengangguran. Laki-laki yang sekarang, katanya, mengasihi Mira, tidak disukai Him. Bukan alasannya alasan perbedaan suku melainkan alasannya nalurinya sebagai orangtua menyampaikan bahwa ada yang salah dengan calon mantunya itu.
Dalam hati Him bertanya-tanya, kenapa Mira tidak meminta modal saja untuk bakal usaha? Lagi pula bukankah pria itu pegawai negeri? Mira tidak perlu berpayah-payah apabila menikahinya kelak.
“Paman ...” Rullah menghampiri Him.
“Apa katanya?” tanya Him.
“Terima kasih, Paman. Dia mau menelepon Paman tapi kehabisan pulsa. Dia bilang meskipun Paman tidak mau diganti, Insya Allah kalau ada rejeki akan beliau ganti.”
“Ah, gaya sekali Kemal itu!” bentak Him. “Bagaimana mau beliau ganti kalau tubuhnya tidak sehat? Bagaimana bisa sehat kalau tidak ke dokter? Bagaimana mau ke dokter kalau beliau lebih percaya dukun? Aneh sekali beliau itu ... macam hidup di jaman suanggi saja!”
Rulah terkekeh. “Berkali-kali saya suruh pergi ke dokter tapi selalu beliau tolak. Alasannya banyak macam, Juragan. Siapa tahu dengan cara Juragan memberinya uang, beliau mau pergi ke dokter.”
“Harus ke dokter. Mana bisa sembuh kalau sakitnya malaria malah disembur pakai air daun sirih? Teori dari mana itu?” sungut Him. “Kalau saya tidak percaya dokter dan rumah sakit, tiga anak pertama saya belum tentu selamat waktu dilahirkan.”
“Betul, Juragan.”
“Pusing kepala saya, Rul.”
“Soal si Mira lagi?”
Him mengangguk. Baginya Rulah bukan sekadar petugas manajemen saja melainkan daerah menyebarkan cerita. Tidak ada orang lain dari lingkungan keluarga yang beliau percayai selain Rulah, Said, dan Kemal. “Anak itu minta tigabelas bahtera motor ini diwariskan atas namanya seorang. Aneh ...”
Rulah tidak berani terlalu mencampuri urusan rumah tangga Him. Dia hanya bisa memberi saran dalam ranah aman. “Coba Juragan rundingkan dengan Atha, Diba, dan Ucup. Apa pendapat mereka, bagaimana mau mereka. Mereka semua cerdas, Juragan. Mereka juga tidak kikir. Saya yakin mereka bisa berpikir jernih. Mereka juga niscaya mau yang terbaik untuk Mira.”
“Kau betul, Rul,” balas Him. “Saya punya komitmen pergi ke daerah usahanya Diba. Enaknya begini nih Rul kalau anak kita punya perjuangan daerah makan ...”
“Kafe, Juragan.”
“Ya apalah namanya!”
Him bangkit. “Saya pamit, Rul.”
“Iya.” Rulah mengekori hingga Him berada dibalik kemudi. “Hati-hati di jalan, Juragan!” seru Rulah seraya menutup pintu X-Trail.
“Kau, jangan lupa, suruh si Kemal pergi ke dokter. Jangan percaya dukun. Bisa timbul fitnah,” anjur Him, lantas menghidupkan mesin X-Trail. “Kalau timbul fitnah urusannya jadi panjang.”
“Baik, Juragan.”
X-Trail yang dikemudikan Him melintasi jalan beton lantas keluar dari areal pasar ikan yang terletak di bab belakang Pasar Mbongawani. Hati-hati beliau mengemudi menuju Jalan Kelimutu. Hari ini beliau diajak Diba untuk makan siang di Shadiba’s Corner.
Tidak hingga duapuluh menit, Him sudah memarkir X-Trail di parkiran Shadiba’s Corner. Menatap rumah yang kini bermetamorfosis daerah perjuangan Diba menghadirkan perasaan haru. Dulu beliau nyaris percaya ramalan Ayahnya perihal Diba—Pecinta Bantal.
Melewati galeri tenun ikat, lantas membalas sapaan para pekerja, Him datang di ruang kerja. Nampak istrinya, Mae, dan dua putri kembarnya.
“Assalamu’alaikum,” sapa Him. “Kau sudah dari tadi Mae?”
“Wa’alaikumsalam,” jawab Mae, Diba dan Atha. “Saya sudah dua jam tunggu Abang,” lanjut Mae. “Cukup usang untuk dengar kisah dari Abang punya belum dewasa ini.”
“Ada apa ...” Him duduk di sofa.
“Mereka ...” belum selesai Mae bicara, Diba sudah memangkas, mulai bercerita perihal kakak-beradik Pram dan Prita, juga ihwal si calon anak mantu: Wawan. Meski cara Diba bercerita berapi-api dan satu dua kata tertelan di tenggorokan, Him mengerti maksudnya. Sudah usang beliau menaruh rasa tidak suka pada Wawan. Kecurigaannya terbukti. Hanya saja beliau tidak menyampaikan pada Mae, Atha, dan Diba perasaannya sekarang, bahwa, akhirnya kalian sadar juga!
“Baba, Ine, bantulah mereka,” pinta Diba.
“Mereka ... orang asing, Diba. Tidak pantas kamu membantu mereka kalau tujuannya untuk menghancurkan abang kamu sendiri!” bentak Mae. Untuk alasan yang mengambang, beliau hanya bisa melontarkan kalimat itu. Betapa buruknya Mira mempermalukan nama besar keluarga, Mira tetaplah anaknya. Anak yang pertama keluar dari rahimnya.
“Tapi, Ine,” sanggah Atha, “sebenarnya apa yang kita lakukan ini demi kebaikan Mira juga. Apakah Ine tega melihat Mira menikah dengan Mas Wawan?”
“Padahal Ine sudah tahu Mas Wawan itu ... busuk,” sambung Diba.
Him membuka kopiahnya, mengusap ubun-ubun seakan dengan melaksanakan tindakan itu beliau boleh terlepas dari belenggu problem yang seakan tiada habisnya ini. “Ya sudah ... jalankan saja planning kalian itu,” katanya.
Mae melotot. “Tidak bisa, Bang!”
“Kenapa tidak bisa, Mae?” tantang Him. “Sejak awal saya tidak suka sama kekerabatan mereka. Kau ... jangan terlalu manjakan Mira. Harusnya tegur beliau waktu tahu beliau mulai main gila sama Wawan. Harusnya kita bisa jaga perasaan Elf. Meskipun beliau tidak cinta Elf, tapi hargailah pengorbanan Elf ... tunggulah barang dua atau tiga tahun gres lengket sama pria lain!”
“Tapi, Abang ... nanti Mira ...”
“Ine,” tukas Atha. “Ine harus percaya. Semua ini demi kebaikan Mira.”
“...”
“...”
“Heh, Diba, panggil Magda,” titah Him.
“Kenapa, Baba?” tanya Diba.
“Baba lapar sekali!”
“...”
“...”
***
Bersambung