Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

#Pdl Tabrak Sungai Lewati Lembah


#PDL yakni Pernah DiLakukan. Tulisan ringan perihal apa saja yang pernah saya lakukan selama ini; jalan-jalan di sekitar Kabupaten Ende, backpacker-an ke tempat-tempt di luar Kota Ende, merusuhi acara, termasuk perbuaan iseng bin jahil bin nekat.

***


Suatu kali saya mendapatkan tawaran membikin video inspiratif dari sebuah forum perihal desa siaga. Video ini merupakan kisah konkret perihal usaha dan tugas serta masyarakat untuk membantu menangani permasalahan ibu hamil dan anak, sekaligus menekan angka janjkematian ibu hamil dan anak gres lahir. Bersama Martozzo Hann, Kiki Albar, dan Kakak Pacar, jadilah tim ini. Tim yang harus membikin semuanya dari nol; RAB, estimasi waktu pengambilan video, shootlist (di dalam shootlist ini termasuk ada wardrobe sekalian), mengumpulkan materi, editing dan finishing, dan lain sebagainya. Repot memang, tapi menyenangkan alasannya yakni kami ditemani cemilan segitu banyaknya *halah*.


Menurut situs Promkes, desa siaga yakni sebagai berikut:

Desa siaga yakni desa yang penduduknya mempunyai kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi duduk kasus kesehatan, bencana, dan kegawatdaruratan, kesehatan secara mandiri. Desa yang dimaksud di sini yakni kelurahan atau istilah lain bagi kesatuan masyarakat aturan yang mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan yang diakui dan dihormati dalam Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah selesai disusun, shootlist tersebut dikirim kepada pemberi proyek yang diteruskan kepada anggota desa siaga yang berada di Desa Liselowobora, Kecamatan Wolowaru, Ende. Betul, desa siaga yang satu ini berada di Desa Liselowobora. Kepala Desa Liselowobora belum tentu menjadi Kepala Desa Siaga. Apa yang saya pikirkan pun menjadi kenyataan alasannya yakni shootlist yang dikirimkan itu sudah diperbanyak dan dibagi-bagikan kepada masyarakat desa siaga di sana, malahan mereka telah menentukan orang-orang yang akan memerankan si A, si B, dan si C. Tetapi kalau bidannya beneran si bidan. Hehe. Mereka benar-benar paham proses syuting video ini.
Inilah hobi yang menjadi pekerjaan sampingan kami.
  Sesuai waktu yang ditentukan, tim pun berangkat ke Desa Liselowobora. Sayangnya, KM 17 arah Barat Kota Ende sedang ditutup (dibuka pada pukul 12.00 Wita) alasannya yakni ada perbaikan jalan sehingga kami memutuskan untuk memutar gunung yaitu mengikuti jalur alternatif berjulukan Aekipa. Aduh, jangan pernah tanya ke Orang Ende soal jalur Aekipa ini, mereka niscaya bakal senyum-senyum penuh makna. Bisa kalian bayangkan? Setelah memutar gunung / Aekipa selama 2,5 (dua setengah) jam, kami bertemu jalan raya yang ternyata yakni KM 20. Jadi, dua jam putar sana sini untuk datang di KM 20? Luar biasa. Hahaha. Perjalanan kami lanjutkan dan karenanya datang juga di Desa Liselowobora.

*tepuk tangan*

Baca Juga : Datang, Makan, Ngerujak, Pulang

Tiba di Desa Liselowobora kami eksklusif bertemu kontak lokal yaitu Om Bene Sera yang oleh kami disingkat bebas menjadi Benser. Benser yakni mantan Kepala Desa Liselowobora, kemudian menjadi Kepala Desa Siaga di desa tersebut. Sesuai perjanjian, hari itu (Jum'at) kami akan pergi mencari penginapan dan akan bertemu keesokan harinya (Sabtu) di rumah Benser. Rumah Benser yang berkamar mandi luas itu menjadi basecamp tim.

Syuting hari pertama (Sabtu) berjalan lancar alasannya yakni masih prolog, dan narasumber-narasumber. Prolog ini diantaranya pertemuan kelompok-kelompok masyarakat desa siaga, hingga bagaimana langkah-langkah yang diambil apabila ada ibu hamil hendak melahirkan yaitu dengan meniup peluit. Seru juga hari pertama ini. Untuk hari kedua syuting, kami meminta mereka mengenakan baju yang sama dengan hari pertama alasannya yakni ceritanya di dalam video ini semua berjalan pada hari yang sama.


Salah seorang anggota desa siaga sedang melaksanakan pemetaan ini itu.

Oia, selain kelompok masyarakat desa siaga, kami juga bertemu Mama Dukun. Kaprikornus ceritanya di desa siaga ini ada kolaborasi antara bidan dan dukun beranak. Dari wawancara dengan Mama Dukun kami jadi tahu bahwa masih ada kaum ibu lebih percaya dukun beranak (kebiasaan turun-temurun), dan untuk mendukung aktivitas kesehatan pemerintah, Mama Dukun sering menemani si ibu melahirkan di puskesmas. Mulianya hatimu wahai, Mama Dukun!


Mama Dukun / dukun beranak (kanan) yang selalu penuh senyum.

Syuting hari kedua (Minggu) juga lancar dan lebih seru! Karena kami harus mereka ulang semua insiden konkret yang terjadi di desa siaga tersebut. Para pemainnya juga orisinil sangat natural alasannya yakni mereka sendiri yang mengalami insiden tersebut, yaitu bagaimana memindahkan seorang ibu hamil yang hendak melahirkan dari balik bukit, melewati bukit, tabrak kali, lewati lembah, untuk datang di sebuah puskesmas. Bahkan bapak-bapak juga menciptakan kembali tandu darurat yang terdiri dari dua cuilan bambu dan satu dingklik plastik sebagai daerah si ibu duduk. Jangan lupa buku pink, buku investigasi ibu hamil.

Proses menciptakan tandu darurat.

Empat kamera kami harus standby dan ditempatkan pada titik-titik terbaik alasannya yakni kasihan jikalau adegan menuruni bukit ini harus diulang. Hehe.

Harus hati-hati menandu ibu hamil, bisa saja tergelincir.

Proses menandu ibu hamil ini memang susah alasannya yakni harus melewati / melanggar bukit, melanggar kali, dan melewati tanjakan menuju jalan desa. Di pinggir jalan desa sudah ada pick up yang bakal mengantar ibu hamil ke puskesmas yang terletak di sentra Kecamatan Wolowaru.

Gara-gara di kali ini setengah celana saya berair dan sepatu pun kuyup. Kalian tahu? Saya pulang dari Wolowaru ke Ende sekitar 2 (dua) jam perjalanan tanpa bantalan kaki. Hahaha.

Setelah video Desa Siaga yang berjudul: Di Dalam Dekapan Ibuku, pihak forum alias pemberi order mengubah dongeng menjadi Paroki Siaga. Di sini, saya dan Kakak Pacar harus menempuh jalan yang lebih jauh menuju Laja yang merupakan bab dari Kabupaten Ngada. Luar biasa kan ya? Eh tapi Paroki Siaga pun tetap arahnya ke desa siaga yang bersinergi dengan paroki setempat. Waktu itu kami mewawancarai Romo Sil Betu.

Baca Juga : #PDL Snorkeling di Perairan Pulau Tiga

Apa pelajaran yang saya petik dari proses syuting desa siaga ini? Banyak, kawan! Kerjasama tim, ramahnya orang desa, bersatunya orang desa, hingga betapa orang desa itu akan menganggap kamu saudara meskipun gres bertemu sekali dua. Seperti Benser yang kemudian, berbulan-bulan kemudian, masih menghubungi kami meminta tunjangan mendokumentasikan ijab kabul anaknya, hahaha. Benser ini baik banget meskipun kalau ngomong kayak orang berantem. Tipikal Orang Flores memang begitu, tidak bisa bicara pelan hahaha.

Kadang-kadang saya kasihan juga sama ibu hamil di desa, apalagi desanya di balik bukit (berbukit-bukit). Mereka harus berjuang semenjak kehamilan hingga melahirkan. Mereka tidak kenal produk mutakhir untuk ibu hamil dan anak gres lahir. Tidaaaak! Mereka hanya kenal penanganan dasar ibu hamil yang sesuai usulan bidan. Maka, berbahagialan ibu-ibu yang tinggal di kota, apalagi yang jarak rumahnya sangat akrab dengan akomodasi kesehatan (faskes) dan bisa tahu soal produk-produk mutakhir untuk ibu hamil.

Pernah, saya pernah begitu ... melaksanakan semua itu dengan bangga alasannya yakni banyak pengalaman yang saya alami dan pengalaman itu tidak bisa ditukar Rupiah. 

Baca Juga : #PDL Cerfet, Cerita Estafet

Bagaimana dengan kalian? Punya pengalaman serupa?


Cheers.