Bermain Diksi Dalam Kondensat
Siapa yang suka menulis puisi? Banyak blogger yang suka menulis puisi. Misalnya Mas Doddy Purwanto atau Muhaimin Azzet. Teman Blogfam saya berjulukan Yaya juga suka banget bikin puisi yang dipos di blog atau akun Facebook-nya. Ah, Yaya memang sangat ngetop lewat puisi-puisinya. Saya sendiri suka menulis puisi yang dipos di blog khusus puisi. Huatsihhh! Tapi kini sudah jarang menulis puisi, entah kenapa, puisi-puisi itu hanya bermain di benak saja tanpa sempat dituangkan di lembar putih iniiiii. Salah satu puisi yang paling saya suka, puisi saya tentunya, berjudul Ang.
Baca Juga : Ribut Berarti Mati dalam A Quiet Place
Berima; ang. Selama tak ada yang larang. Mari bersulang. Hentikang. Eh. Hentikan. Sudah tanggapan puisinya. Tidak selamanya saya menulis puisi berima. Kadang saya menulis puisi yang sama sekali jauh dari rima. Biasa saja. Mungkin yang baca tersenyum sinis. Biarlah. I just want to write it. Berpuisi itu memang luar biasa. Betapa hebatnya kumpulan karakter yang minim itu sanggup memberikan pesan si penulis puisi. Beda sama lukisan yang begitu kaya apalagi novel; meskipun kadang tidak gampang menginterpretasikan lukisan dan novel.
Suatu kali, sobat Blogfam saya berjulukan Sigit Jaya Herlambang meminta pinjaman untuk mengendors buku gres terbit. Bukunya. Bagi saya, selama sanggup membantu sesuai permintaan, kenapa tidak? Tapi sebelumnya, mari kenal dulu sama Sigit. Ini yang tertuang dalam halaman profil buku tersebut:
Sigit Jaya Herlambang yaitu laki-laki kelahiran Jakarta, 23 September 1987. Ia mempunyai ketertarikan di dunia eksperimen fisika, tulis-menulis, dan musik. Untuk yang berminat berkolaborasi di ketiga hal tersebut, hubungi sigit.jaya.herlambang@gmail.com. Sejumlah karya di tiga bidang tersebut juga sanggup dilihat di website pribadinya sigitjayaherlambang.com.
Sayang website-nya sudah tidak sanggup diakses.
Baca Juga : TIKIL, Kami Antar Kami Nyasar
Buku karya Sigit tersebut yaitu buku kumpulan puisi berjudul KONDENSAT. Karena saya mau mengendors, maka Kondensat lantas dikirimkan pada saya. Jujur, membaca puisi-puisi di dalam Kondensat bikin terbuai. Seperti sedang main ayunan, kemudian terlempar ke atas kasur bulu, menikmati nirwana dunia lewat kata. Terbuainya saya pada puisi-puisi Sigit tertuang dalam endors pada sampul belakang (versi pendek) buku tersebut:
Puisi-puisi dalam Kondensat menyulik saya dari alam konkret kemudian menempatkan saya pada dataran tertinggi Hutan Puisi.
Itu fakta.
Kondensat yang diterbitkan melalui Indie Book Corner memuat puluhan puisi karya Sigit. Cara beliau bercerita wacana warta sosial, politik, cinta, orangtua, alam, yaitu seksi. Karena beliau sungguh lihai bermain-main dengan diksi. Puisi-puisi itu antara lain Ramadhan Plastik, Orchard Ballads, Khuldi, ilahi dengan karakter kecil, Sasadara, Eksilan, Gnostik, sampai Nisbi. Dari judul saja Sigit sudah bikin geregetan.
Salah satu puisi di dalam Kondensat berjudul Caka. Berikut kutipannya:
Aku tertunduk lesu
Langit bermesiu
Tawa renyah kami
Meletus pada ratusan juta kembang api
Atau puisi berjudul Tuhan.
Tuhan
Malaikat bilang Engkau tamasya
Entah kemana
Bawa lalat sekeranjang
Dan susu seperawan
Dan saya sendiri saja
Hinggap dari busuk ke anyir
Mengais Engkau di gundukan
*termenung*
Lalat sekeranjang.
Susu seperawan.
Terima kasih Sigit, untuk puisi-puisi yang gemilang dalam Kondensat, yang masih terus sering saya baca meskipun telah usang waktu berselang.
Baca Juga : Girls Like You
Bagaimana dengan kalian? Suka kah kalian menulis puisi? Suka kah kalian membaca puisi? Dan puisi apa yang paling kalian suka? Tidak perlu harus dari sastrawan ternama. Mungkin, siapa tahu, puisi dari seseorang justru sangat bermakna bagi kalian. Seperti puisi Kakak Pacar yang satu ini:
Saya akan menduakan kalau ...
Allah SWT membuat kamu lebih dari satu.
*gubrak!*
Kutip dari mana itu hahaha.
Happy weekend!
Cheers.