5 Tanaman Dapur Di Rumah
Cabe dan Kumbang, dari halaman Asrama Rumah Bujang.
Mau menulis berkebun tapi tidak punya kebun. Yang punya kebun maha luas berbukit-bukit itu justru si Kakak Pacar. Apa bagusnya menulis bercocok tanam saja? Entahlah. Kalau menulis bertani dan berladang justru lebih kurang ajar. Tapi yang jelas, kalian semua sudah tahu wacana hobi aku bergaul sama tumbuhan baik yang tidak berbunga, berbunga, maupun yang berbuah. Hobi ini bermula pada tahun 2016 ketika saya, akhirnya, menyadari betapa gersangnya rumah kami pasca stroke yang menyerang Mamatua pada tahun 2009 lampau. Menulis kata lampau kok rasanya macam lima masa yang kemudian hahaha.
Baca Juga : Yang Unik dari Ende (Bagian 1)
Sesungguhnya hobi bergaul sama tumbuhan ini merupakan hobi yang membutuhkan kesabaran super tinggi. Karena, untuk menunggu satu bibit tumbuh saja aku harus banyak berdoa dan melewati lima kali purnama menunggu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Setiap hari niscaya menengok pot semai-nya, mengajak mengobrol (serius), dan berdoa biar ia segera tumbuh. Maklum, aku menggunakan tanah belakang rumah yang lebih banyak biji lamtoronya :p dari pohon lamtoro yang tumbuh rindang, jadi yang tumbuh duluan itu anakan lamtoro hahaha. Cabut. Seharusnya tanah dicampur bokasi, tapi aku skip bokasi ini.
Menunggu anak daun sop ini tumbuh, sungguh membutuhkan waktu yang cukup usang dan cita-cita setinggi langit.
Ceritanya, menjelang Idul Fitri kemarin aku menerima hadiah dua pot tumbuhan bambu air. Karena pernah insiden dua kali pot bunga aku dicuri (tega sekali yaaaa yang mencuri kaktus dan bunga halus itu), maka khusus bambu air ini aku simpan di dalam rumah. Akan tetapi setiap pagi hingga sore pot bambu air diletakkan di beranda belakang biar bermandikan sinar matahari. Sayang banget jikalau hingga mati. Baru-baru ini aku mulai menginspeksi ulang beranda belakang yang yaitu bekas dapur dan kawasan jemuran baju anak kos (dulu rumah kami ada kosnya). Setelah usang duduk di situ ... triiing! Terbit inspirasi untuk mengisi beranda belakang dengan tanaman.
Suasananya bikin hepi.
Awalnya belum tahu mau menanam tumbuhan apa. Pikir punya pikir, ingin memisahkan anakan pengecap buaya alias diperbanyak begitu. Tetapi atas saran tetangga, No Andre, aku kemudian membeli polybag dan bibit sayur di Toko Sahabat Tani. Niatnya mau membeli bibit jahe, bawang, dan kacang panjang. Akan tetapi yang terbeli justru daun sop, bawang merah, dan sayur sawi putih.
Polybag yang sudah ditanam bibit.
Mamasia membantu mengisi semua polybag dengan tanah halaman belakang yang lebih banyak biji lamtoro itu. Kalau kalian lihat gambar beranda belakang di atas: penampakan beranda belakang, kawasan aku duduk untuk memotret itu beratap seng sebab dulu bekas dapur anak kos, ada dua pot bambu air sedang bermandikan cahaya matahari, ada kolam air bekas milik anak kos, dan sananya sedikit ada pohon lamtoro. Setelah atap, ada halaman belakang (dekat jalan) yang tidak luas tapi cukup untuk kami mengambil tanahnya.
Baca Juga : 5 Alasan Membuka Kelas Blogging NTT
Sesuai judul pos, ada lima tumbuhan dapur (saya menyebutnya begitu sebab sanggup buat keperluan dapur) yang ketika ini sudah tumbuh subur dan gres saja ditanam bibitnya. Tanaman-tanaman itu adalah:
1. Cabe.
2. Bawang dayak.
3. Daun sop.
4. Sawi putih.
5. Daun pandan.
Sedangkan dua tumbuhan lainnya yang pernah tumbuh subur tapi kemudian tergoda hama yaitu tomat dan bayam merah. Sereh antara hidup dan mati. Ini ia penampakan pohon tomatnya dulu:
Sayang ya tidak bertahan lama, padahal sudah berbunga dan membikin hati aku berbunga-bunga.
Baca Juga : 5 Benda Wajib si Tukang Jalan
Khusus untuk cabai hijau dan daun sop, aku sudah berkali-kali panen, bahkan daun sop ada pula dibawa pulang sama teman sekalian sama potnya. Daun pandan masih dalam masa pertumbuhan. Sedangkan bawang dan sawi putih gres kemarin siang disemai. Ini yang bikin perasaan aku campur-aduk ... tumbuh nggak ya ... jikalau tumbuh nanti ia secantik aku nggak ya ... ia bakal bertahan sama kehidupan yang semakin kejam ini nggak ya ... ia bakal mencar ilmu internet nggak ya ... *dijumroh*
Membeli polybag setengah kilogram ternyata banyak juga (lihat foto polybag, itu gres sebagian polybag). Besok lusa aku bakal coba saran dari Kakak Hendrika Dawi, untuk membeli jahe dan kunyit di pasar. Pilih yang lingkaran dan apalah (nanti lihat lagi di komentarnya di Facebook). Doakan biar polybag tersisa nanti sanggup ditanam jahe dan kunyit. Untuk bibit sereh aku sanggup memintanya lagi di Mila Wolo. Gampang diatur lah itu. Yang penting bibit yang gres kemarin aku tanam sanggup tumbuh dulu.
Hobi bergaul dengan tumbuhan ini membikin aku selalu geregetan jikalau melihat bunga atau kebun orang. Seperti gambar berikut ini, geregetan sama tumbuhan cabai di halaman Asrama Rumah Bujang, dekat-dekat rumah:
Cabenya semok! Tangannya juga semok!
Atau halamannya yang penuh tumbuhan cabai ini, yang sanggup bikin tukang gorengan ngiler level galaksi:
Geregetan sama tumbuhan orang lain, geregetan juga sama tumbuhan sendiri.
Kemarin, sesudah aku selesai menanam bibit dan Ocha selesai membersihkan bekas dapur anak kos, kami berbincang wacana sayur-mayur. Memperhitungkan antara menanam sendiri dengan membeli di pasar. Sebenarnya tidak ada untung-rugi; kalaupun ada tipis-tipis saja. Tetapi kemenangan menanam sayur-mayur sendiri yaitu pada ketika panennya. Bangga, bahagia, apalah, sebab sanggup memakan sayur-mayur hasil tanam sendiri. Untuk sementara kami sudah puas dengan cabai dan daun sop, kemudian menunggu sawi tumbuh, kemudian mulai mencari bibit sayuran lainnya.
Baca Juga : 5 Travel Blogger yang Konsisten Menulis
Bagaimana dengan kalian? Sudahkah kalian memanen hasil tumbuhan 'dapur' sendiri? Ditanamnya di kebun (lahan yang luas) atau di pot/polybag menyerupai saya?
Semoga bermanfaat :)
Cheers.