Kuliah Telegram - Efektifkah?
Sebelum kulgram, mungkin kau sudah terlebih dahulu mendengar istilah kulwap, alias kuliah whatsapp. Jadi, bersama-sama kulgram bukanlah hal yang baru. Tapi keduanya agak unik, lantaran dari yang saya lihat, acara ini hanya ada di Indonesia. Ah, really? *yg bule tolong komentarnya!
Salah satu alasan terbesar saya pakai telegram, buat belajar. Karena di telegram ada berbagai group dan channel yang bermanfaat. Dikelola dan dihuni oleh orang-orang yang profesional di bidangnya. Alhamdulillah, ini luar biasa.
Tapi.. saya termasuk orang yang engga suka ngikutin kuliah telegram. Why? Ini alasannya. (jangan dibaca separoh-separoh ntar salah paham lho)
Dengan kata lain, cara mencar ilmu menyerupai kuliah (yang sifatnya live), kurang mengena buat saya.
Ini kenapa saya 98% tidak menghadiri webinar (2% nya absen ditengah mata pelajaran), dan cuma nyimak rekaman / dokumentasinya saja – dan inipun bukan dari kulgram, dari situs-situs lain.
Sebagai pemateri, kita menganggap bahan yang kita berikan yaitu hal yang mudah. Kemudian kita berekspektasi bahwa teman-teman audience lainnya sanggup dengan cepat menangkap dan mempraktekkan apa yang kita jelaskan.
“Saya jelaskan, anda praktekkan, anda mengerti, selesai”. Padahal sebenernya engga. Otak insan membutuhkan waktu untuk mengerti sesuatu yang gres (meskipun engga baru-baru amat, meskipun udah dinotif prerequisites sebelumnya).
Maka darisini terbentuklah suasana yang sunyi senyap. Biasanya si pemateri juga bertanya-tanya, udah pada paham atau belum, atau jangan-jangan udah engga ada yang nyimak dan ditinggal pergi.
… atau fokus menjelaskan satu persatu hingga audience benar-benar paham. Berarti sesi tanya jawab dilakukan. Berarti waktu terbuang banyak (*ya gapapa kan yang penting paham).
Tapi ini ga tanggung-tanggung. Beberapa kulgram saya lihat berlangsung 3 jam. Dari malam, hingga tengah malam. Fakta di lapangan yang saya lihat, mereka bosan. Coba jawab pertanyaan ini “Pernah antusias banget ngikutin suatu kulgram. Apakah kau tetap antusias hingga akhir?”
Membuat teks menyerupai itu bukanlah hal mudah. Maka kulgram kalau dilakukan tanpa persiapan, otak akan mengalami stress. Antisipasinya, sebagai pemateri biasanya sudah mempersiapkan teks tersebut (yg ready to be formatted).
Tetap saja sulit, contohnya jikalau dibanding memakai video confrence yang sanggup ngobrol, sekaligus chat messaging, sekaligus sanggup show slide. Saya bandingkan, lantaran cara ini ada dan sanggup dilakukan dengan mudah.
Rata-rata insan itu bertindak atas dilema yang sedang ia hadapi. Di acara kulgram, sulit untuk membentuk jalinan emosional ini. Karena belum tentu apa yang kita sampaikan, diharapkan ‘banget’ oleh audience – dan memecahkan dilema mereka.
Maka suatu hal yang lumrah jikalau mereka bosan. Apalagi bahan yang disajikan tidak unik, dan cukup gampang didapatkan di internet. Bandingkan dengan ini:
“Seseorang yang tengah kesulitan mengkonfigurasi suatu software – kemudian menemukan artikel (atau apapun) terkait permasalahannya, tapi masih terbentur di suatu step. Kemudian ia bertanya di group dan orang lain menjelaskan”.
Akhirnya terbentukkuliah diskusi dadakan, yang goalnya lebih terang lantaran ada latar belakang permasalahannya dan kita tau dimana ujungnya (yaitu si empunya dilema mengerti dilema yang ia hadapi, dan solusinya). Hal menyerupai ini lebih suka saya simak.
Saya pribadi, sesudah mengadakan kulgram beberapa kali menemukan cara yang saya anggap lebih efektif, yakni dengan menulis artikel. Ini tetap mempunyai kegunaan untuk 2 gaya mencar ilmu diatas.
Kulgram juga hal yang tidak kalah penting yaitu dokumentasinya, tapi effortnya berdasarkan saya lebih besar dibanding menulis artikel. Karena akibatnya 2x kerja. Padahal keuntungannya tidak jauh berbeda.
Oh ya, di telegram kini kalau export chat formatnya udah cantik kok.
Jadi bagi kau yang suka banget mencar ilmu dari kulgram. Go ahead!
Ada komentar atau tanggapan? Sumber https://www.fathurhoho.id/
Salah satu alasan terbesar saya pakai telegram, buat belajar. Karena di telegram ada berbagai group dan channel yang bermanfaat. Dikelola dan dihuni oleh orang-orang yang profesional di bidangnya. Alhamdulillah, ini luar biasa.
Tapi.. saya termasuk orang yang engga suka ngikutin kuliah telegram. Why? Ini alasannya. (jangan dibaca separoh-separoh ntar salah paham lho)
Karena sifatnya kuliah
Iya, saya gasuka kuliah. Makanya saya gagal jadi sarjana. Entahlah apa alasannya, saya lebih suka mencar ilmu sendiri. Kemudian bertanya jikalau mendapati kesulitan. Waktunya saya yang tentukan sendiri, bukan orang lain.Dengan kata lain, cara mencar ilmu menyerupai kuliah (yang sifatnya live), kurang mengena buat saya.
Ini kenapa saya 98% tidak menghadiri webinar (2% nya absen ditengah mata pelajaran), dan cuma nyimak rekaman / dokumentasinya saja – dan inipun bukan dari kulgram, dari situs-situs lain.
Ribet
Oh ya, topik yang saya garis bawahi disini yaitu IT, yang mostly practical. Biasanya kulgram yang saya lihat (dan yang sudah-sudah saya adakan), sifatnya praktek. Ini ribet, baik dari pemateri maupun audience.Sebagai pemateri, kita menganggap bahan yang kita berikan yaitu hal yang mudah. Kemudian kita berekspektasi bahwa teman-teman audience lainnya sanggup dengan cepat menangkap dan mempraktekkan apa yang kita jelaskan.
“Saya jelaskan, anda praktekkan, anda mengerti, selesai”. Padahal sebenernya engga. Otak insan membutuhkan waktu untuk mengerti sesuatu yang gres (meskipun engga baru-baru amat, meskipun udah dinotif prerequisites sebelumnya).
‘Terlalu’ memakan waktu
Masih perihal ‘ribet’ diatas. Muncul balasan “kalau engga mau interaktif, kan sesi tanya jawab sanggup dibentuk diakhir??” Iya, tapi berdasarkan saya ini juga jadi serba salah. Kita asik menjelaskan, audience masih buffering di kalimat A, kita sudah berikan kalimat B.Maka darisini terbentuklah suasana yang sunyi senyap. Biasanya si pemateri juga bertanya-tanya, udah pada paham atau belum, atau jangan-jangan udah engga ada yang nyimak dan ditinggal pergi.
… atau fokus menjelaskan satu persatu hingga audience benar-benar paham. Berarti sesi tanya jawab dilakukan. Berarti waktu terbuang banyak (*ya gapapa kan yang penting paham).
Tapi ini ga tanggung-tanggung. Beberapa kulgram saya lihat berlangsung 3 jam. Dari malam, hingga tengah malam. Fakta di lapangan yang saya lihat, mereka bosan. Coba jawab pertanyaan ini “Pernah antusias banget ngikutin suatu kulgram. Apakah kau tetap antusias hingga akhir?”
Text based
Hal-hal diatas lebih disebabkan lantaran kita memanfaatkan aplikasi text messaging. Saya tipe pelajar dari teks (bahkan kutu buku). Syarat biar pesan teks kita gampang dimengerti orang lain, ditentukan oleh struktur kalimat yang baik, format, dan tanda baca.Membuat teks menyerupai itu bukanlah hal mudah. Maka kulgram kalau dilakukan tanpa persiapan, otak akan mengalami stress. Antisipasinya, sebagai pemateri biasanya sudah mempersiapkan teks tersebut (yg ready to be formatted).
Tetap saja sulit, contohnya jikalau dibanding memakai video confrence yang sanggup ngobrol, sekaligus chat messaging, sekaligus sanggup show slide. Saya bandingkan, lantaran cara ini ada dan sanggup dilakukan dengan mudah.
Kurang efektif
Oh ya, saya engga menyampaikan kalau kulgram itu tidak bermanfaat, atau tidak efektif. Hanya saja pada praktiknya, kurang efektif. Berbicara efektif ini lebih afdol kalau ada perbandingannya. Begini.Rata-rata insan itu bertindak atas dilema yang sedang ia hadapi. Di acara kulgram, sulit untuk membentuk jalinan emosional ini. Karena belum tentu apa yang kita sampaikan, diharapkan ‘banget’ oleh audience – dan memecahkan dilema mereka.
Maka suatu hal yang lumrah jikalau mereka bosan. Apalagi bahan yang disajikan tidak unik, dan cukup gampang didapatkan di internet. Bandingkan dengan ini:
“Seseorang yang tengah kesulitan mengkonfigurasi suatu software – kemudian menemukan artikel (atau apapun) terkait permasalahannya, tapi masih terbentur di suatu step. Kemudian ia bertanya di group dan orang lain menjelaskan”.
Akhirnya terbentuk
Kesimpulan
Secara sosial, ada 2 gaya mencar ilmu setiap orang, yaitu:- Interpersonal (berinteraksi dan berdiskusi dengan orang lain) dan
- Intrapersonal (kebalikannya, lebih menentukan mencar ilmu sendiri).
Saya pribadi, sesudah mengadakan kulgram beberapa kali menemukan cara yang saya anggap lebih efektif, yakni dengan menulis artikel. Ini tetap mempunyai kegunaan untuk 2 gaya mencar ilmu diatas.
Kulgram juga hal yang tidak kalah penting yaitu dokumentasinya, tapi effortnya berdasarkan saya lebih besar dibanding menulis artikel. Karena akibatnya 2x kerja. Padahal keuntungannya tidak jauh berbeda.
Oh ya, di telegram kini kalau export chat formatnya udah cantik kok.
Export chat telegram - Source: @tgbeta:3230 |
Ada komentar atau tanggapan? Sumber https://www.fathurhoho.id/