Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bukit Indah Simarjarunjung: Tak Hijau Lagi Kampungku

Di sepanjang perjalanan saya tak henti-hentinya melamun. Menikmati perjalanan, indahnya pemandangan dan sejuknya udara pegunungan. Hari ini saya dan teman-teman mengulang acara yang setiap tahunnya kami lakukan.

Liburan lalu, kami. Saya dan teman-teman Sekolah Menengan Atas mengulang kembali kebiasaan-kebiasaan kami setiap tahunnya. Bukit simarjarunjung dan danau toba ialah tempat favorit.

 indahnya pemandangan dan sejuknya udara pegunungan Bukit Indah Simarjarunjung: Tak Hijau Lagi Kampungku
Area Bukit Indah Simarjarunjung
Sebenarnya, Sejak pulang beberapa hari lalu, saya sudah 5x ke tempat ini. Namun tak ada rasa bosan sedikitpun.

Bagaimana tidak.

Hari pertama kemari, saya sudah meminta keluarga untuk jalan-jalan ke kampung halaman. Hari kedua, ketiga, dan seterusnya saya tetap kembali ke tempat ini alasannya ialah urusan keluarga dan lain-lainnya.

Ada perasaan yang luar biasa yang saya rasakan ketika pertama kali kemari semenjak kepulangan saya dari Ibukota. Saya tak henti-henti memandang keluar jendela mobil. Memperhatikan setiap detil perjalanan yang kami lalui. eaaah

Memangnya apalagi yang lebih membahagiakan dibanding bertamasya bersama keluarga? :P

Bulu kuduk saya selalu berdiri, darah ini rasanya berdesir saking merindukan udara sejuk pepohonan khas pedesaan.

Di desa menyerupai ini, anyir ilalang dan pepohonan saja sangat semberbak aromanya. Mungkin ini alasannya ialah hidung saya sudah terbiasa dengan polusi di Jakarta.

Terkadang saya berfikir, apa orang-orang juga mencicipi apa yang saya rasakan? Setiap kali mencium aroma sesuatu, ingatan saya kembali cerah. Seperti parfum seseorang, pewangi ruangan, saya ingat niscaya siapa, dimana, dan kapan saya bersahabat dengan aroma itu.

Saat kecil, anyir ilalang dan rerumputan ini yang setiap harinya saya hirup. Hingga setiap kali saya kemari, saya merasa kembali ke masa lalu.

dah.. gitu pokoknya.

Bukit Indah Simarjarunjung (BIS)

Memang..
Setiap tahunnya saya pulang ke kampung halaman, begitu terang tampak perbedaan. Anak-anak yang dulunya masih bermain di halaman, kini sudah pada cukup umur dan mulai sibuk dengan acara mereka masing-masing.

Seperti berkaca pada masa-masa saya sekolah dulu, setiap suasana idul fitri saya selalu mengajak teman-teman sekolah untuk silaturahmi ke rumah.

Namun kali ini ada perbedaan yang tak biasanya.

Kali ini terjadi pada kampung kelahiran saya sendiri, yang semenjak awal blog ini dibentuk saya sudah menyinggungnya di laman about me.

Tempat itu, orang-orang menyebutnya Bukit Indah Simarjarunjung (BIS).

Ini lokasi wisata terbaru yang dikala ini tengah terkenal di bukit Simarjarunjung, sebuah desa kecil di puncak pegunungan kawasan danau toba. Entah bagaimana awal mulanya, saya masih ingat persis bukit ini dulunya hanya berisikan pepohonan pinus dan kaliptus dan ilalang, kini telah disulap menjadi tempat yang sangat ramai.

Indah?
Tentu saja.

 indahnya pemandangan dan sejuknya udara pegunungan Bukit Indah Simarjarunjung: Tak Hijau Lagi Kampungku
Bukit Indah Simarjarunjung
Disini kau sanggup menaiki rumah pohon, bermain ayunan, bersantai di warung kopi, yang semuanya akan melengkapi album liburan tahunanmu bersama keluarga dan orang-orang yang kau sayangi.
Pengunjung tempat ini tiba dari aneka macam daerah, medan, balige, kabanjahe, pematangsiantar, dan sekitarnya.

Iyaahh... saya tau.

Karena saudara saya juga mengelola beberapa dari tempat tamasya ini, dan dikala itu saya menjadi fotografer relawan, untuk memfoto para pengunjung.

Di desa menyerupai ini, orang-orang begitu peduli dan ramah. Saling sapa, tanya jawab, asal darimana, mau kemana, hingga hal-hal tak penting sekalipun memang menjadi buah pembicaraan disini.

Baca Juga: Tips Hidup di Perantauan

(Selain BIS - Bukit Indah Simarjarunjung, ada beberapa tempat yang menyediakan tempat yang mirip, menyerupai Bukit Cinta, Beautiful Sunset, dan tempat-tempat lain).
Begitu banyak, sehingga saya lupa namanya.

Orang-orang yang mempunyai lahan di area pandang panorama juga tak mau melewatkan kesempatan ini, mereka bergegas mengelola lahannya masing-masing biar sanggup menghasilkan uang.

Bahkan saya juga tahu berapa penghasilan perhari yang mereka dapatkan dari lokasi wisata menyerupai itu. Tempat yang dikelola saudara saya saja sanggup meraup untung 2 hingga 3 juta perhari.

Tarif photo di rumah pohon, uang parkir, dan jejajanan warung yang disediakan, juga kamar kecil.
Sementara, BIS yang jauh lebih luas dan terkenal itu sanggup meraup untung 10x lebih besar.

Awal Dari Kerusakan

Saya masih ingat persis sebelum tahun 2000, di kampung ini belum ada listrik dan air.

Namboru (istri adiknya Ayah), Nanguda (adiknya Ayah), dan Uda (adik-adik Ayah) semuanya masih tinggal bersama di rumah Opung (Kakek dan Nenek, Orang bau tanah Ayah). Kami semua tinggal tanpa penerangan, bermodalkan lampu dengan minyak tanah.

Saya hafal sekali jikalau Opung saya mengumpulkan batang pepohonan pinus, dan memotongnya kecil-kecil, sebagai materi untuk menghidupkan kayu bakar.

Selain itu, kami harus mengambil air dari pegunungan, ada juga mata air di dekat sini. Semua warga pergi kesana untuk mandi dan mengambil air. Belum ada alat untuk memompa air dari pegunungan menyerupai sekarang.

Tempat itu berada di kawasan hutan, sayang sekali hingga hari ini saya tidak pernah lagi pergi ke tempat itu. Entah kini sudah menjadi apa.

Ah iya.. Di tempat cuek menyerupai ini, tidak mandi 2 hingga 3 hari tidak mengakibatkan kau bau. Serius.

Saya dengan masa kecil menjadi seorang anak yang di kakinya menempel berpengaruh kotoran-kotoran lumpur yang mengering, baju dan celana tak pernah bersih. haha

Jangan heran.

Tidak ada orang yang suka mandi pagi di kampung ini, airnya benar-benar dingin. Kepalamu akan terasa disiram es, sehingga merasa pusing dan membeku.

Kuku orang-orang disini tidak ada yang bersih, mereka harus mengelola ladang mereka. Jika memetik hasil panen, kotoran menjadi lekat alasannya ialah efek pupuk pada tangan.

Tidak ada sabun yang ampuh untuk membersihkannya, makanya kami selalu sedia jeruk nipis sebagai materi pembersihnya.

 indahnya pemandangan dan sejuknya udara pegunungan Bukit Indah Simarjarunjung: Tak Hijau Lagi Kampungku
Rumah Pohon
Terlepas dari itu semua, ada kekhawatiran yang sangat saya rasakan melihat begitu banyak perubahan yang terjadi disini, di kampung kelahiran saya sendiri.

Suatu kawasan yang ingin maju memang mestinya menerima campur tangan manusia, entah itu menjadi home industri yang memperkerjakan orang-orang, menjadi sentra wisata, atau sentra perdagangan.

Sejak tempat ini ada, dan semenjak saya terlahir disini, memang profesi utama orang-orang disini ialah menjadi petani dan pedagang.

Beranjak saya remaja...

Saya dan keluarga sering membahas tempat ini. Berandai-andai menjadi apa kampung ini nanti. Membayangkan andai saja ada lampu penerangan sepanjang jalan menuju bukit, villa-villa indah, dan tempat-tempat perkemahan, ditemani warung gorengan di sepanjang jalan. haha

Namun semua itu berhenti kami bicarakan sejak.. Ayah dan Ibu saya tiba ke Bogor untuk menghadiri program wisuda saya. Melihat begitu ramainya Puncak Raya Bogor.

Memang tidak layak untuk dibandingkan, namun saya benar-benar tidak menginginkan tempat menyerupai itu ada disini. Kemacetan, desak-desakan, hmm...

Dibangunnya tempat-tempat wisata disini juga menciptakan saya rahasia penuh harapan. Saya tidak ingin tempat ini menjadi tempat yang kotor, orang-orang tiba tanpa tahu membuang sampah pada tempatnya.

Orang-orang yang mempunyai harta dan kekuasaan, tanpa tahu menjaga biar alam ini akan tetap terjaga. Yah tapi bagaimanapun, tidak ada yang sanggup disalahkan. Tidak ada yang salah mengakibatkan tempat wisata, ini benar-benar indah.

Buktinya dikala sekolah saya lah orang yang mengajak orang-orang untuk mengunjungi tempat ini, dan mereka suka. Teman-teman sekolah, keluarga, dan pacar -_-

Keindahan memang untuk dibagikan bukan??

Angan dan Harapan

Memang terlalu naif angan-angan saya meminta tempat ini tetap suci dari campur tangan manusia, sedang mereka lah yang punya lahan. Sedang saya punya apa, cuma blog celotehan ini saja.

Saya hanya berharap tanggapnya pemerintah kawasan dan pengelola akan perubahan ini, dengan menciptakan hukum untuk menjaga biar alam ini tidak rusak dan tetap terjaga hingga anak cucu nanti.

Minimal di lokasi wisata menyerupai ini, saya tidak kesulitan mencari tempat sampah untuk membuang bungkus plastik dari krupuk jangek yang saya beli di warung batak.

 indahnya pemandangan dan sejuknya udara pegunungan Bukit Indah Simarjarunjung: Tak Hijau Lagi Kampungku
Panorama Bukit Simarjarunjung
Yah, perubahan itu sifatnya pasti, tidak sanggup dihindari. Dengan tidak dibuatnya pun tempat wisata menyerupai ini, kampung ini akan tetap ramai nantinya, dibangunnya rumah sanak keluarga orang-orang disini.

Saya miris sekali melihat tatanan rumah di Ibukota, tidak ada jarak satu dengan yang lainnya. Akses ke sentra perbelanjaan juga sangat sulit, jangankan mobil, jalan kaki di gang saja sangat sulit.

Sehingga berdasarkan saya harusnya ada hukum menyerupai berapa meter jarak maksimal bangunan dengan jalan umum, dan lagi, setiap bangunan harus menyediakan pohon di halaman atau pekarangan mereka.

Dalam hati..

Saya selalu berharap setiap tahunnya sanggup menikmati tempat ini, bersama orang-orang yang saya sayangi. Satu tahun ternyata waktu yang sangat cukup untuk merubah semuanya, alam dan manusia.

Kampung ku kini tak hijau lagi.
Sumber https://www.fathurhoho.id/